Diskriminasi Berdasarkan Identitas Sosio-Kultural di Eropa dan Amerika

FPCI Brawijaya
4 min readMar 31, 2021

Written by Ivena Swarhisa

Eleanor Roosevelt (First lady dan penulis dari Amerika) pernah berkata, dimana, diatas segalanya, hak asasi manusia itu dimulai dari sebuah tempat sederhana, dekat rumah kita. Tempat dimana pria, wanita, serta anak-anak mendapat perlakuan sama, kesempatan sama, kehormatan sama, tanpa diskriminasi. Sejarah mencatat bahwa pada 12 Oktober 1492, seorang penjelajah dari Eropa yang bernama Christopher Columbus, mendarat di benua Amerika. Peristiwa itu kemudian menjadi dongeng yang terus diceritakan hingga hari ini yaitu Columbus adalah penemu benua Amerika. Dalam buku A Dogs History of America yang ditulis oleh Mark Derr menceritakan Columbus memburu menggunakan anjing. Sebagian besar anjing-anjing itu didatangkan langsung dari Spanyol dan dilatih untuk bisa mencium bau orang-orang pribumi Amerika[1]. Namun dalam kenyataannya, apa yang disebut “memberadabkan” masyarakat asli Amerika adalah sebuah kejahatan kemanusiaan genosida. Menurut ahli antropologi Amerika Serikat, Henry Farmer Dobyns, dalam 130 tahun pertama Eropa menginjakkan kaki di benua Amerika, hampir 95 persen penduduk asli benua itu binasa. Selama hampir empat abad sejak para pemukim pertama dari Eropa tiba di dunia baru yang disebut Amerika, budaya para founding fathers ini telah menjadi komponen yang tak terpisahkan dari apa yang disebut identitas Amerika[2]. Tak heran apabila jika dilihat dari segi fisik orang Amerika dan Eropa terlihat sama yaitu Ras White Anglo-Saxon. Asal-muasal etnis Anglo-Saxon di Amerika dapat ditelusuri dari pola-pola pemukiman di Amerika selama masa kolonisasi yaitu migrasi orang-orang Inggris ke Amerika. Sehingga bukan hal yang mengejutkan jika populasi penduduk Amerika di awal Revolusi adalah 60 persen keturunan Inggris.

Alden T., Penulis dan Pakar Revolusi Amerika mengatakan hampir semua hal yang terdapat di Inggris seperti bentuk-bentuk kepemilikan dan pengolahan tanah, sistem tata pemerintahan, hukum dan peraturan, bahkan pilihan media bentuk hiburan untuk mengisi waktu luang, dan kebanyakan aspek kehidupan yang lain di masa kolonial adalah serapan dari kebudayaan dan tingkah laku masyarakat Inggris. Sehingga orang Eropa dan Amerika sering dipandang sebagai satu bangsa. Tujuan orang-orang Eropa berlayar ke Amerika selain motivasi ekonomi adalah untuk mencari kebebasan yang merupakan representasi dari Liberty yang merupakan simbol kebebasan rakyat Amerika. Bangsa Anglo-Saxon memiliki keyakinan bahwa mereka sebagai orang-orang Inggris telah menentukan nasib mereka sendiri untuk meraih kebebasan dengan cara berlayar menuju dunia baru untuk menghindari penindasan di tanah leluhur mereka di Inggris dan membawa obor kebebasan tersebut ke Amerika. Sam Adams yang merupakan negarawan dan filsuf politik menekankan etos kebebasan orang-orang Inggris yang tercermin dalam piagam Magna Carta. Klaim tentang keturunan bangsa Anglo-Saxon ini kemudian banyak digunakan oleh orang-orang kulit putih Amerika, dan bahkan oleh pemerintah Amerika, untuk melakukan tindakan dan kebijakan diskriminatif terhadap ras bangsa dan agama lain, terutama kepada para imigran. Pengaruh ini juga dapat dilihat pada reaksi orang-orang Amerika terhadap kedatangan imigran Jerman dan Irlandia. Penolakan juga ditujukan kepada kelompok-kelompok lain seperti orang-orang kulit hitam, penduduk asli Amerika (Indian), dan kemudian, orang-orang Hispanik dan Yahudi. Serangkaian pembatas simbolis berupa warna kulit putih inilah yang digunakan untuk membedakan orang Amerika dengan orang-orang disekitarnya, karena pada masa kolonial orang-orang Indian yang berkulit hitam identik dengan para budak. Budaya ini juga berperan besar dalam membentuk sikap dan pandangan orang Amerika terhadap moralitas pribadi maupun masyarakat, aktifitas ekonomi, pemerintah dan kebijakan publik.

Sejak masa awal Revolusi telah terdapat perselisihan menyangkut pengertian Amerika, apakah Amerika merupakan bangsa para imigran, ataukah, merupakan satu bangsa yang disatukan oleh garis keturunan yang sama Anglo-Saxon. Keragaman dan keseragaman merupakan dua hal yang saling bertentangan. Adapun pemikiran lain yang mengatakan bahwa Amerika merupakan hasil peleburan semua identitas kultural para imigran dari berbagai bangsa yang kemudian membentuk identitas baru bernama Amerika. Proses asimilasi ini kemudian berkembang di kalangan para imigran yang memiliki beragam latar belakang budaya yang masuk ke dalam masyarakat Amerika. Hal ini bertujuan menggambarkan bagaimana para imigran dari beragam latar belakang budaya dan etnis selain Anglo-Saxon dibuat menjadi orang Amerika dengan kata lain, agar selaras dengan budaya yang disebut dengan White Anglo-Saxon. Bagi para imigran ini, tidak ada pilihan lain untuk diakui sebagai orang Amerika dan menjadi bagian dari bangsa amerika selain ikut memeluk unsur-unsur dari budaya dominan, khususnya dalam bahasa Inggris. Akibat dari proses asimilasi itu membuat negara Amerika menjadi sebuah bangsa multikultural.

Dari waktu ke waktu kebijakan diskriminasi terhadap para imigran non Anglo-Saxon telah membuat Amerika menjadi sebuah bangsa multi etnis. Puncaknya terjadi pada gelombang imigran yang datang ke Amerika tahun 1880 hingga tahun 1920, yang sebagian besar berasal dari Eropa Timur dan Selatan menimbulkan kehawatiran jika orang-orang ini tidak akan pernah menjadi orang Amerika. Ketakutan orang-orang Amerika terhadap gelombang imigran yang dianggap akan mengancam identitas Amerika kemudian membuat disahkannya Immigration Act pada tahun 1924, yang secara eksplisit membatasi imigrasi dari Eropa, Asia, dan Afrika. Orang-orang Amerika ini khawatir apabila para imigran ini akan mengancam keseimbangan antara kesatuan dan keragaman yang ada di negara mereka. Kemudian pada tahun 1960-an, dan tahun-tahun menjelang terjadinya gejolak sosial proses asimilasi tersebut menimbulkan perubahan besar dalam tata kehidupan Amerika. Dalam proses percampuran budaya ini terdapat fenomena historis dan sosiologis di dalamnya. Sehingga Amerika mulai dikenal dengan kebhinekaan atau keragaman pada setiap individunya. Terlihat dari menurunnya dominasi White Anglo-Saxon di Amerika. Sejak gelombang kedatangan para imigran pertama, dimana awal abad 17 mereka telah membentuk bangsa ini menjadi rumah dan sebuah harapan bagi jutaan orang dari seluruh penjuru dunia dengan beragam latar belakang budaya dan agama.

Referensi :

[1] http://pedomanbengkulu.com/2016/10/benarkah-christopher-columbus-penemu-benua-amerika/

[2] Eko Rujito. White Anglo-Saxon Protestant dan Identitas Amerika.

--

--

FPCI Brawijaya

Foreign Policy Community of Indonesia Chapter Universitas Brawijaya #SparktheSameLight