Berebut Klaim Wilayah Antartika : Kontestasi Memperebutkan Sumberdaya ?

Written by Kevin Akbar Sanabil, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya 2020

FPCI Brawijaya
3 min readJun 25, 2021

Antartika merupakan wilayah kontinen yang berada di kutub selatan bumi. Antartika memiliki luas sebesar 14 juta km2, sehingga dengan luas sebesar itu ia juga dikategorikan sebagai benua. Antartika juga menjadi satu-satunya benua yang tidak dihuni oleh penduduk asli dan tidak berstatus sebagai sebuah negara ataupun subjek hukum internasional. Hal itu membuat negara-negara berebut klaim sepihak terhadap wilayah antartika sehingga menimbulkan konflik internasional. Untuk meredam situasi tersebut pada tahun 1959 diadakan perjanjian Antartika yang ditandatangani oleh 12 negara diantaranya, Amerika Serikat, Argentina, Afrika selatan, Australia, Belgia, Chili, Perancis, Jepang, Selandia baru, Norwegia, Inggris dan Irlandia utara. Hingga pada tahun 2019 sudah ada 54 negara yang ikut menandatangani Perjanjian Antartika. Perjanjian tersebut berisi tentang fungsi antartika yang dimanfaatkan untuk kepentingan damai serta dilarangnya berbagai aktivitas militer yang dibangun di wilayah tersebut [1].

Pembentukan Perjanjian Antartika membentuk suatu akibat hukum yang tentunya tertera dalam pasal IV ayat 2 bahwa tidaklah sah, tidak boleh atau menolak adanya suatu klaim teritorial terhadap wilayah antartika dari negara manapun selama perjanjian tersebut berlaku[2]. Namun pada nyatanya, masih terdapat negara yang mengabaikan perjanjian tersebut dengan mengklaim wilayahnya yang bertumpang tindih dengan wilayah negara lain sehingga memicu sebuah konflik yang didasarkan oleh faktor geopolitik Seperti yang dilakukan Inggris pada tahun 2007 mengklaim secara defacto wilayahnya yang bertumpang tindih dengan wilayah Argentina dan Chili hingga kedua negara tersebut mengeluarkan pernyataan bahwa mereka menentang keras tindakan Inggris dan tidak mengakui adanya klaim tersebut dengan mengirimkan delegasinya masing-masing [3]. Hal itu diulang kembali pada tahun 2012 oleh Inggris dengan memberikan nama pada wilayah Antartika dengan nama Queen Elizabeth Land yang kemudian ditentang oleh pemerintah argentina karena wilayah tersebut juga merupakan wilayah bagian dari Antartika milik Argentina [4]. Disamping itu juga banyak negara seperti China yang mendirikan Pos penelitian di Antartika Timur [5]. Melihat hal tersebut, faktor wilayah Antartika banyak diperebutkan oleh berbagai negara tidak lain dan tidak bukan karena Antartika menyimpan berbagai potensi seperti sumber daya alam seperti minyak bumi, mineral, dan perikanan yang melimpah. Dari adanya sumber daya minyak bumi yang dinilai sangat besar mencapai 200 miliar barel, tentu jumlah tersebut melebihi cadangan minyak yang dimiliki oleh sebagian negara di timur tengah, lalu sumber daya perikanan disana juga sangat besar dan memiliki nilai jual yang tinggi seperti ikan paus bungkuk, toothfish. Dilansir dari data yang dimiliki oleh CCAMLR yang menyebutkan bahwa terdapat penangkapan perikanan sebesar 295.000 ton pada tahun 2013–2014. Namun, dari semua aktivitas penangkapan itu, terdapat pula aktivitas penangkapan ikan secara illegal yang ironinya dilakukan oleh negara yang ikut serta menandatangani Perjanjian Antartika. Kemudian di sisi lain, sektor pariwisata juga cukup tinggi walaupun jumlahnya tidak menentu setiap tahunnya. Menurut IAATO (International Association of Antartica Tour) kunjungan wisatawan dari tahun 2010–2017 berjumlah 284.993 yang tiap tahunnya sangat fluktuatif jumlahnya. Dengan adanya potensi wisatawan tersebut, tentu memberikan keuntungan bagi suatu negara, seperti Inggris karena mendapatkan pendapatan dari pajak dan penjualan prangko [6].

Namun melihat semua potensi sumber daya tersebut, hal itu memicu berbagai konflik internasional yang berujung pada perebutan territorial di wilayah antartika meskipun sudah dibentuk Perjanjian Antartika demi menanggulangi konflik klaim teritorial. Sayangnya, hal tersebut tak diindahkan oleh berbagai negara karena banyaknya kepentingan yang hadir didalam perebutan wilayah itu. Perlu adanya keterlibatan dari komunitas internasional seperti PBB untuk segera memberikan sanksi hukum yang merujuk pada kebiasaan-kebiasaan internasional. Selain itu dengan semakin banyaknya negara yang ikut meratifikasi Perjanjian Antartika, tampaknya perjanjian tersebut perlu diperbaharui menyesuaikan kepentingan seluruh pihak namun tidak mengesampingkan tujuan awal dari pembentukan perjanjian tersebut.

Bibliography

[1] Sylvana Toemon, perjanjian antartika, bobo.grid.id (23.10.2017), https://bobo.grid.id/read/08678461/perjanjian-antartika

[2] Hariandy Putra Aruan, Putu Tuni Cakabawa, ‘Dasar Suatu Negara melakukan Klaim Wilayah Benua Antartika dan Akibat Hukum yang Timbul menurut Hukum Internasional’ (2019) Fakultas Hukum Universitas Udayana

[3] Express, Countries reject Antartic Claims, Express UK (07.03.2009), https://www.express.co.uk/news/world/88020/Countries-reject-UK-Antarctic-claim

[4] BBC News, Argentina Angry after Antarctic Territory Named After Queen, BBC News (22.12.2012), https://www.bbc.com/news/uk-20822582

[5] Tony Firman, berebut kaveling di antartika demi penelitian atau minyak, Tirto.id (17.09.2017), https://tirto.id/berebut-kaveling-di-antartika-demi-penelitian-atau-minyak-cwLl

[6] Dwi Hermawan, ‘Klaim Inggris Atas Wilayah Semenanjung Antartika’ (2019), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman

--

--

FPCI Brawijaya

Foreign Policy Community of Indonesia Chapter Universitas Brawijaya #SparktheSameLight